PULAU BERHALA
FAKTA SEJARAH PULAU BERHALA
Apabila kita berpikir dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), masalah Pulau Berhala sebenarnya tidak perlu
ada, apakah menetap di Provinsi Kepulauan Riau atau pindah (bergabung)
ke Provinsi Jambi. Karena terbentuknya Republik ini (RI) tidak
terlepas dari penerapan konsepsi nation yang berarti bahwa suatu
entitas politik yang terdiri dari warga negara, walaupun berbeda latar
belakang ras, etnik, agama, budaya dan golongan antara satu sama yang
lainnya, namun memiliki kehendak untuk bersatu, dibawah payung NKRI dan
didalam suatu wilayah yang jelas batas-batasnya.
Berangkat
dari pemikiran itu, ada suatu hal yang tidak boleh diabaikan yaitu
pelanggaran batas wilayah dari suatu daerah lain apalagi dalam bentuk
aneksasi sebagian wilayah tanpa dasar atau alasan yang jelas dan kuat.
Sudah pasti hal ini bukan sekedar pelanggaran teritorial namun akan
menyentuh harkat martabat suatu pemerintahan daerah bersama segenap
warga masyarakatnya. Pulau Berhala misalnya yang sudah sekian abad
lamanya dikelola oleh suatu pemerintahan tanpa hambatan dan protes dari
pihak lainnya. Dengan alasan apapun upaya pencaplokan itu perlu
dicermati akan kebenaran argumentasinya, apalagi jika sudah ada temuan
data faktual dilapangan menunjukkan adanya unsur kepentingan individu
dari oknum-oknum tertentu untuk memperkaya diri sendiri.
Untuk
membuktikan bahwa Pulau Berhala itu milik provinsi mana tidak perlu
diragukan, karena pengelolaan suatu pemerintahan keatas pulau itu sudah
pasti mempunyai dasar hukum yang kuat. Sekarang ini masih cukup banyak
arsip-arsip resmi sebagai fakta sejarah dan secara faktual dapat
dijadikan landasan keberpihakan kita yang tepat kepada provinsi yang
berhak memiliki pulau itu. Untuk mengetahui secara pasti, mari kita
teliti dan telaah sedetainya data-data faktual yang dapat menjelaskan
Status Keberadaan Pulau yang penuh misteri itu dengan nama julukan yang
beraneka ragam mulai; pulau Dakjal (dari orang Arab), pulau Afgod (dari
orang Belanda), pulau Bertayil (dari orang Jerman), pulau Verrella
(dari orang Portugis) atau Pullo Berella menurut Tome Pires yang
berarti Pulau Berhala dalam bahasa Melayu/Indonesia dan sebagian pelaut
atau nelayan menamakannya Pulau Hantu. Mengumpulkan dan menganalisa
data yang bersumber dari arsip-arsip resmi itu merupakan solusi terbaik
dalam upaya pelurusan sejarah tentang pengelolaan suatu pemerintahan
terhadap Pulau Berhala, meskipun belum seintensif pembangunan yang
dilakukan dalam pengelolaannya selama ini dengan apa yang diharapkan.
Sebenarnya,
Pulau Berhala adalah sebuah Pulau kecil mungil, fenomena alamnya
sungguh indah mempesona di sebelah utara sebuah Selat juga bernama
Berhala. Di sekitarnya terdapat beberapa buah pulau-pulau kecil yaitu;
Pulau Manjen, Pulau Telor, Pulau Layak, Pulau Selumar, Pulau Nyirih dan
Pulau Niur, di kelilingi oleh air laut kebiru-biruan dan jernih,
pantainya landai, sebagian merupakan hamparan pasir kuarsa putih dan
sebagian lagi berbatu. Sungguh suatu kuasa Tuhan, karena Pulau kecil
ini di kelilingi oleh Laut dalam, namun sumur yang di gali hanya dengan
jarak 10-15 meter dari bibir pantainya memunculkan air tawar bening
dan tidak berbau. Pulau ini sangat cocok dijadikan sebagai obyek wisata
bahari.
Pulau Berhala sebagai Desa
Persiapan dari Kecamataan Singkep, Kabupaten Lingga Provinsi Kepulauan
Riau, posisinya disebelah Selatan Pulau Singkep, terletak pada titik
koordinat 104024"20' BT & 0051"00' LS, dengan luas wilayah + 10 Km2
berpenduduk + 51 KK (termasuk Transmigrasi Lokal 2006). Jarak antara
Desa Persiapan Pulau Berhala ke Ibukota Kecamatan Singkep (Dabo) + 25
mil atau 2 jam pelayaran menggunakan Kapal Motor Pompong (kapal
kecil/nelayan) atau kurang lebih 35 menit dengan Speed Boat 200 PK.
Dari
segi sumber daya alam Pulau Berhala tidaklah begitu potensial, yang
menonjol adalah perikanan dari laut yang mengelilinginya. Hanya sebagian
lahannya di tumbuhi pohon Kelapa, sebahagian dari kebun kelapa ini
adalah milik hak usaha dari warga Jambi keturunan Datuk Paduko Berhalo
sendiri, namun legalitas usaha/ kemilikannya atas tanah kebun seluas +
18 Hektar diatas Pulau Berhala itu dalam bentuk Gezien (baca:Grant
Tanah) yang diberikan/ dikeluarkan di Daik hampir seabad silam ( 1914 )
oleh De Controleur van Lingga, Afdeeling Lingga masa itu (sekarang;
Kabupaten Lingga).
Dari hasil penelitian
Pemerintah Hindia Belanda, pulau-pulau yang disebut Berhala dan Daik
itu merupakan wewenang dari Sultan Lingga. Untuk itu diperlukan adanya
kontrak tambahan yang menjelaskan bahwa pulau-pulau tersebut adalah
milik Sultan Lingga. Dan pada tahun 1858 gugusan pulau-pulau kecil ini
kemudian disebut sebagai Singkep Laut serta dicantumkan sebagai wilayah
Kesultanan Lingga dalam perjanjian tambahan tahun 1858.
Setelah
jelas diketahui pulau tersebut, Mr. Versteegh utusan Gubernur Jenderal
Hindia Belanda di Batavia (baca Jakarta) kemudian berunding dengan
Sultan Lingga yang baru Muhamad Yusuf. Untuk keselamatan dan keamanan
pelayaran di Selat Berhala, beliau meminta sebuah tempat digugusan Pulau
Berhala bagi pembangunan menara api (baca: Mercusuar). Permohonan
Versteegh inipun dikabulkan bersamaan dengan pengukuhannya sebagai
Sultan Lingga oleh Residen Netscher di Lingga pada tanggal 24 Nopember
1858.
Kini, Pulau Berhala berada dalam
posisi kesimpangsiuran yang meng-akibatkan kekisruhan antara Pemerintah
Provinsi Kepulauan Riau dengan Pemerintah Provinsi Jambi. Untuk
menghindari perpecahan masyarakat serumpun di kedua Provinsi yang
bertikai itu, mendesak untuk segera diselesaikan secara adil dan tegas
oleh pemerintah pusat (Depdagri dan Komisi II DPR RI) berdasarkan
pembuktian dari berbagai aspek yang melatar belakanginya. Guna
mengakhiri sengketa berkepanjangan yang dapat merugikan kedua belah
pihak pemerintahan dan masyarakat Kepulauan Riau dan Jambi, kajian
analisis secara menyeluruh dari berbagai aspek amat di perlukan oleh
pemerintah pusat sebagai masukan yang dapat dipertanggung jawabkan akan
kebenarannya baik dari kedua pemerintahan provinsi terkait maupiun
dari kalangan masyarakat.
Sehubungan
dengan hal tersebut diatas, Tim Lembaga Swadaya Masyarakat Maritim
Bahari Indonesia (LSM-BI) Untuk Pulau Berhala ikut mengambil bagian,
peran aktif untuk mengumpulkan dan menganalisa data pendukung yang ada,
baik diperoleh dari masyarakat yang bersentuhan langsung dengan Pulau
Berhala maupun berasal dari kedua pihak Pemerintahan Provinsi yang
bersangkutan. Hasil kajian-analisis diuraikan dalam bentuk Buku Ikhtisar
Data dan Analisis tentang Status Keberadaan Pulau Berhala dan telah
disampaikan kepada Pemerintah Pusat (Depdagri dan Komisi II DPR RI)
sebagai bahan masukan dengan tembusan kepada pihak-pihak terkait, sesuai
surat Pengurus Pusat LSM-BI Nomor : LSM-BI/ A/ PP/ 35/VI/06,
tertanggal 03 Juni 2006.
Sebenarnya,
kedamaian di Pulau Berhala itu baru terusik sejak tahun 1984 lalu,
manakala Pemerintah Provinsi Jambi mengakui Pulau Barhala menjadi bagian
wilayah administrasinya. Klaim sepihak dari Pemerintah Provinsi Jambi
ini berawal diketahui dari hasil kunjungan kerja Camat Singkep waktu
itu ke Pulau Berhala sebagai bagian dari Kelurahan Dabo, yang melihat
adanya terbentang spanduk berbunyi: "Selamat Datang Bapak Bupati Kepala
Daerah Tingakt II Tanjung Jabung ke Pulau Berhala".
Dari
temuan klaim itulah yang merubah kedamaian menjadi pertikaian antara
kedua pemerintahan; Riau dan Jambi. Pada hal sudah berabad-abad lamanya
masyarakat Riau-Lingga secara turun-temurun, de facto dan de jure
meyakini bahwa Pulau Berhala adalah milik dan bagian dari wilayah
Kerajaan Melayu Riau-Lingga (sekarang Kabupaten Lingga). Suhu pertikaian
ini dirasakan oleh masyarakat Provinsi Kepualuan Riau, khususnya
masyarakat Lingga, semakin berkembang mengarah pada suatu kemelut yang
akan mengancam keutuhan hubungan masyarakat serumpun di kedua Provinsi
tersebut. Hal ini sebenarnya dapat dicegah, seandainya sejak dini sumber
penyebab masalahnya ditangani secara serius, tulus dan ikhlas oleh
pihak yang berwenang menanganinya ditingkat pusat dengan cara-cara yang
benar pula. Sayangnya, sedemikian ruwet permasalahannya nyaris sudah
menelan waktu seperempat abad lamanya dalam penantian, namun harapan
penyelesaian itu tak kunjung tiba. Oleh karenanya, sebagai second
opinion dan atas dasar eksistensi dan peran kemitraan dengan pemerintah
sekaligus kontrol sosial, maka kami (LSM-BI) melibatkan diri dengan
niat suci dalam rangka "pelurusan sejarah dari berbagai aspek tentang
Status Keberadaan Pulau Berhala".
Sebenarnya,
kasus Pulau Berhala yang menghangat di bumi Sepucuk Jambi Sembilan
Lurah dan di bumi Berpancang Amanah Bersauh Marwah muncul sejak tahun
1984 dan semakin diperparah dengan disahkannya Undang-undang No. 54
tahun 1999 sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat 4 yang menyatakan, bahwa
"Kabupaten Tanjung Jabung Timur mempunyai batas wilayah sebelah utara
dengan Laut Cina Selatan dan sebelah timur dengan Laut Cina Selatan".
Hal ini telah menimbulkan kerancuan sekaligus keresahan dan
memperpanjang kekisruhan diantara Riau (Kepri) dengan Jambi karena pasal
ini dapat memberi makna jauh lebih luas; bukan saja gugusan Pulau
Berhala dekat dengan Selat Berhala, akan tetapi Kabupaten Lingga dan
Kabupaten Natuna bahkan semua pulau-pulau yang berada dalam radius Laut
Cina Selatan, secara otomatis bisa menjadi bagian wilayah Kabupaten
Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi. Dan adalah suatu kemuskilan hal
ini dapat diterima bagi masyarakat yang berpikiran waras khususnya di
Kepulauan Riau, jadi kalau boleh dimaknai Pasal 9 ayat 4 tersebut diatas
dapat dianggap sebagai Pasal Sumber Malapetaka. Kemudian
diundangkannya UU No.25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi
Kepulauan Riau dan tidak dimasukkannya Pulau Berhala, berarti Pulau
Berhala berdasarkan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang
melandasinya tetap menjadi bagian Provinsi induk yaitu Riau, bukan
serta merta harus dimasukkan ke Provinsi Jambi.
Dengan
diundangkannya UU No.31 tahun 2003, pada tanggal 18 Desember 2003
tentang Pembentukan Kabupaten Lingga, dengan batas wilayah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf (c) berbunyi; "Kabupaten Lingga
mempunyai batas wilayah sebelah selatan berbatasan dengan Laut Bangka
dan Selat Berhala". Undang-undang ini semakin memperjelas Status
Keberadaan Pulau Berhala termasuk pulau-pulau disekitarnya yang secara
geografis berada di sebelah utara (bukan di selatan) Selat Berhala,
sehingga secara de jure dan de facto tetap menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dengan wilayah hukum dan administrasi pemerintahan Kecamatan
Singkep, Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau. Dan dengan
kehadiran UU No.31 tahun 2003 ini sekaligus telah merontokkan UU No. 54
tahun 1999, khususnya mengenai batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam
pasal 9 ayat 4 tersebut diatas, gugur atau batal demi hukum. Dengan
demikian Pulau Berhala yang dipermasalahkan oleh Provinsi Jambi secara
eksplisit dapat dianggap sudah berakhir.
Diundangkannya
ketiga Undang-undang tersebut di atas (UU No. 54 tahun 1999, UU No.25
Tahun 2002 & UU No.31 tahun 2003) "Tidaklah patut mengeluarkan atau
memasukkan suatu bagian wilayah tertentu, dari / ke wilayah lainnya."
Artinya; Pulau Berhala berikut pulau-pulau kecil disekitanya yang sudah
ratusan tahun menjadi bagian Riau (sejak masa Kerajaan/Afdeeling
Lingga hingga era reformasi/Kabupaten Lingga) tidaklah patut
memasukkannya ke Kabupaten/ Provinsi lain (baca: Kabupaten Tanjung
Jabung Timur, Provinsi Jambi).
Tolok
ukur dalam sistim perundang-undangan di Indonesia, biasanya UU yang
datang terakhir dianggap lebih menentukan dari pada UU sebelumnya,
selama UU terdahulu itu tidak lebih tinggi kedudukannya dibanding UU
yang datang kemudian. Dan biasanya, menurut ketentuan khusus yang datang
kemudian dianggap lebih kuat dari pada ketentuan yang bersifat umum
sebelumnya. Hal ini, sesuai dengan azas hukum "Lex specialis derogat
generalis". Dengan demikian azas hukum ini telah mempertegas kedudukan
UU No.31 tahun 2003, bahwa UU yang bersifat khusus datang kemudian
dapat dianggap lebih kuat dan menentukan dari pada UU sebelumnya yang
bersifat umum dalam hal ini UU No. 25 tahun 2002, termasuk UU No.54
tahun 1999 khusus mengenai batas wilayah dalam Pasal 9 ayat 4. Dan UU
No.31 tahun 2003 dapat dianggap sebagai ketentuan khusus yang
melanjutkan regulasi UU No. 25 tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi
Kepulauan Riau yang bersifat umum di Kepulauan Riau dalam hal
penjelasan tentang pambagian batas wilayah.
Mengenai
penduduk asli pertama yang ada di Pulau Berhala, sesungguhnya berasal
dari Dabo Singkep, Pulau Lalang dan Tanjung Batu (Kepulauan Riau) pada
awalnya datang ke Pulau itu sebagai nelayan yang lama kelamaan menetap
sebagai penduduk pulau Berhala. Landasan pengelolaan pemerintahan
Provinsi Riau/Kepulauan Riau keatas Pulau Berhala sebagai pemilik sah,
cukup kuat bila ditinjau dari berbagai aspek keakuratan Fakta Sejarah,
Hukum, Sosial Budaya, Demografi, Antropologi, Topografi, Geografis,
Kepedulian & Fakta Pelayanan Adminstrasi Pemerintahan terhadap Pulau
Berhala. Hal ini telah berlangsung sejak masa Kerajaan Riau Lingga
dan/atau Afdeeling Lingga hingga era Reformasi sekarang ini.
Kesaksian-kesaksian
beberapa orang asing, pemuka masyarakat Pulau Berhala dan pemuka
masyarakat Nipahpanjang, Kab.Tanjung Jabung Timur (Jambi) menjelaskan
dan menyatakan, sebagai berikut:
- Tome
Pires seorang musafir Portugis ketika mengikuti pelayaran armada
Francisco Rodrigues tahun 1513 mereka melewati pulau Singkep dari Malaka
menuju Pulau Jawa (Sunda Kelapa), mengunjungi Pulau Berhala dan telah
menyaksikan Pulau ini memiliki hubungan dengan Singkep, dengan
menemukan banyak orang-orang (nelayan) dari Singkep datang mengambil
air dan tinggal disana (Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome
Pires: An Account of the East from the Red Sea to Japan, Western in
Malacca and India in 1512-1515 (London, The Hakluyt Society,1944),
halaman 154). Ketika pelayaran armada ini kembali ke Malaka dari Jawa 3
(tiga) tahun kemudian, tokoh Portugis lainnya Rodrigues menyampaikan,
bahwa Pulau Berhala yang sebelumnya kosong
- Ismail, 80
tahun, menyatakan bahwa "dia telah menempati Pulau Berhala sejak saat
penjajahan Jepang (Tahun 1940-an) sampai saat ini masih berdomisili di
Pulau Berhala dan menurutnya segala urusan Administrasi Pemerintahan
dulunya diurus di Kantor Camat Singkep Kabupaten Kepulauan Riau dan
sekarang oleh Pemda Kabupaten Lingga".
- Hasan,
66 tahun, manyatakan bahwa "dia menempati Pulau Berhala pada Tahun
1960-an dengan alasan untuk mencari nafkah sebagai nelayan menetap di
Pulau Berhala, dan dikatakan pula bahwa selama ini segala sesuatu
urusan Pemerintahan diselesaikan di Desa Dabo, Kec. Singkep".
- Ahmad
Hasan, 54 tahun, menyatakan bahwa " mereka datang ke Pulau Berhala
sejak tahun 1972, dan pada saat itu Penduduk Pulau Berhala
keseluruhannya adalah orang asli Melayu Riau Kepulauan, mereka barasal
dari Dabo Singkep, Pulau Lalang dan Tanjung Batu, dan tidak terdapat
warga pendatang dari daerah lain".
- Raja Rusly
Ali, 48 tahun, Penduduk Kecamatan Nipahpanjang, Kabupaten Tanjabtim
(kini beliau tinggal di Jambi), menyatakan bahwa "Kami keturunan Datuk
Paduko Berhalo, dan Datok kami Raja Taruna dan Raja Woek bin Raja
Mahmud mengetahui Pulau Berhala itu adalah bagian Lingga (Kab.Lingga),
sehingga legalitas hak milik/usaha beliau atas semua tanah/kebun kelapa
di Pulau Berhala, diuruskan Grant tanahnya melalui aparat di Daik,
Afdeeling Lingga, (Terbit tanggal 12 Oktober 1914), sekarang tanah
kebun itu menjadi hak warisan kami (Raja Rusly Ali)".
Begitupun
usaha perikanan kami (Hatchery) di Pulau Berhala Tahun 1999, kami
yakini bahwa Pulau Berhala adalah bagian wilayah pemerintahan Riau bukan
bagian Jambi, maka perizinan usaha kami urus dari Camat Singkep,
Sertifikat SITU dari Bupati Kepala Dati II Kepulauan Riau dan SIUP dari
Kepala Dinas Perikanan A/n.Gubernur Kepala Dati I Riau.
Semua
kesaksian tersebut diatas adalah autentikasi data baik yang bersumber
dari arsip resmi maupun diperoleh langsung dari masyarakat yang
mengakui bahwa Pulau Berhala adalah bagian/milik Lingga, Riau (Provinsi
Kepulauan Riau)
Berdasarkan
Topografi/peta-peta yang di buat sejak masa Hindia Belanda hingga masa
kemerdekaan (tahun 1590-1986) telah menegaskan bahwa Pulau Berhala
termasuk ke dalam wilayah Residentie Riouw Afdeelling Tanjoeng Pinang
(Kabupaten Kepri, Provinsi Riau) yang terdiri dari :
- Floating
peta (Baringan) yang menunjukkan bahwa perairan disekitar Singkep
merupakan prioritas jalur pelayaran bagi armada asing, Floating Peta
tersebut dibuat oleh Francisco Rodrigues tentang daerah prelayaran
disebelah timur Sumatera dan sebelah utara Bangka yang ditemukan oleh
seorang Portugis bernama Armando Cortesao pada tahun 1590;
- Peta Riouw oleh Marvil van Carnbee tahun 1860;
- Peta Reseidentie Riouw En Onderhoarigheden dengan Skala 1: 750.000 Blad 1, Bewerkt Doorhet Sneyclo Pacdisch Bureu Tahun 1922;
- Overzichtskaart Van Sumatra Blad 17 Reproductiebedrigf Topografisake Drienst Batavia 1932, Schaal 1 : 250.000;
- Overzichtskaart Van Sumatra Blad VI Reproductiebedrigf Topografisake Driensts Batavia 1934, Schaal 1 : 750.000;
- Peta Pulau Singkep ( menurut UU No.12 Tahun 1956 ).
- Peta
wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Riau yang diterbitkan oleh
Direktorat Tata Guna Tanah Departemen Dalam Negeri, Direktorat Jenderal
Agraria Produksi tahun 1986 dengan Skala 1: 625.000; dan
- Peta
Provinsi Daerah Tk. I Riau dengan Skala 1 : 500,000, dibuat dan
dicetak oleh Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional bekerja sama
dengan Bappeda Provinsi Daerah Tk I. Provinsi Riau tahun 1990.
Keseluruhan
peta tersebut di atas secara tegas dan jelas telah meletakkan Pulau
Berhala menjadi bagian wilayah Hukum dan Administratif Provinsi Riau.
Kepedulian Pemerintah Kabupaten Kepulauan Riau, Provinsi Riau/Kepulauan Riau dalam bidang pembangunan di pulau Berhala:
- Satu buah Masjid Baitul Rahim yang di bangun dari dana swadaya masyarakat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Keplauan Riau;
- Satu
Unit Gedung SD Permanen 6 (enam ) lokal yang di bangun dengan dana
dari bantuan Pemerintah Provinsi Riau dan Pemda Kabupaten Kepulauan
Riau, dalam kondisi terpelihara baik;
- Kantor Kepala Desa Persiapan dan Rumah Jabatan Kepala Desa Persiapan Berhala;
- Perumahan Guru sebanyak 3 (tiga) unit dengan jumlah guru 3 (tiga) orang;
- Satu buah Dermaga Kayu sepanjang 60 meter dan Dermaga Cor Semen sepanjang 50 meter;
- Satu Unit Puskesmas Pembantu Permanen dengan tenaga medis 1 Orang Perawat;
- Jalan semenisasi sepanjang 1 km dan pembangkit listrik berupa Genset Diesel beukuran 10 KVA;
- Terdapat 16 (enan belas) unit rumah Penduduk;
- Mercusuar
sebagai Sarana Bantu Navigasi untuk keselamatan pelayaran di gugusan
Pulau Berhala tetap dibawah pengawasan dan pemeliharaan Distrik Navigasi
Kelas I Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau sejak awal dibangun
hingga sekarang; dan
- Berbagai bantuan sarana
dan fasilitas kebutuhan penduduk setempat yang menyangkut sarana
komunikasi, Keamanan dan Sumber Penghidupan lainnya.
Pelayanan
dan pembinaan administrasi pemerintahan terhadap masyarakat yang
berkegiatan dan bertempat tinggal di Pulau Berhala, dapat dibuktikan
dengan surat-surat yang telah dikeluarkan antara lain:
- Gezien/Grant
Tanah No.308, untuk tanah kebun seluas 20.700 m2 yang berada di dalam
Poelau Berhala, Afdeeling Lingga, atas nama; Radja Troena bin R.
Mahmoed, warga Afdeeling Djambi, diterbitkan di Daik pada tanggal 12
Oktober 1914 oleh De Controler van Lingga, begitupun Gezien No.289 atas
nama; R. Woek bin R. Mahmoed, serta beberapa lembar Gezien/Grant tanah
lainnya di Pulau Brerhala, sekarang telah menjadi hak warisan/kuasa;
Raja Rusly Ali.
- Kutipan surat Keputusan Kepala
Agraria Daerah Kepulauan Riau Nomor: 250/IU/1965, Tanggal 13 April 1965
tentang Pemberian hak pakai sebidang tanah seluas 6,83 Ha untuk kebun
kelapa yang terletak di Pulau Berhala kepada Saudara Bahauddin
Hasibuan.
- Surat Nikah antara Radjab dengan
Zaharah dan Kelisa dengan Hasanah (Penduduk Pulau Berhala) yang
dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Pernikahan Kecamatan Singkep pada
Tgl. 25 April 1968 & 30 Januari 1976.
- Surat
Izin Usaha Perikanan (Hatchery) di Pulau Berhala a/n. Koperasi Windu
Tani Lestari Nipah Panjang, sesuai Surat Rekomendasi Camat Singkep
Nomor: 272/523/99, tanggal 14 Juli 1999, Sertifikat SITU oleh Bupati
Kepala Dati II Kepri Nomor: 246/SI/EKON/1999, tanggal 04 Oktober 1999
dan SIUP oleh Ka. Dinas Perikanan Prov.Riau a/n. Gubernur Kepala Dati I
Riau Nomor 59/15a/DABO/99, tanggal 27 September 1999 dengan Pimpinan
Perusahaan atas nama Sdr. R.Rusly Ali.
Semua
fakta pelayanan dan pembinaan administrasi pemerintahan tersebut
diatas, telah berjalan secara efektif dan terus menerus dalam waktu yang
cukup lama, tidak pernah ada kendala yang berarti ataupun tantangan
dari daerah lain. Begitupun pelaksanaan Pemilihan Umum warga Pulau
Berhala sejak tahun 1955 sampai tahun 2004 lalu berjalan aman, tertib
dan lancar dibawah pembinaan/ pengawasan PPS / PPK Singkep (terdaftar
pada TPS 48 RW.20 Pulau Lalang, Kelurahan Dabo, Kecamatan Singkep,
Kabupaten Lingga).
Dari pihak Jambi
sendiri tidak ditemukan adanya landasan argumentasi yang kuat dalam
mengklaim Pulau Berhala sebagai miliknya, begitu juga tentang
pembuktian pelayanan administrasi pemerintahannya keatas pulau itu,
tidak jelas. Kalaupun ada hanya rekayasa sistematis belaka termasuk
penempatan warga untuk menganeksasi pulau tersebut. Data argumentasi
yang ditemukan dari Pemprov. Jambi tidak lebih dari suatu Hikayat dan
Legenda atau apa yang disebut Dongeng. Memang tidak dapat dinafikan,
bahwa sebagai alasan sejarah yang kuat, sumber arsip merupakan prioritas
utama yang harus digunakan oleh sejarawan, bukan sumber materi lain,
apalagi dongeng dan legenda. Mengumpulkan informasi untuk membuat suatu
kesimpulan, legenda dan dongeng tidak dapat digunakan untuk membuat
suatu keputusan. Dongeng dan Legenda atau cerita rakyat, lebih banyak
digunakan sebagai pelipur lara saja. Hikayat tidak menyebutkan angka
tahun serta tempat secara pasti dan nyata, sehingga tidak tepat dalam
penempatan peristiwa. Karena uraian yang terdapat dalam hikayat lebih
banyak memuat legenda atau cerita-cerita rakyat yang berasal dari
tradisi lisan yang berkembang dan bersambung dari mulut ke mulut secara
turun temurun. Hal ini adalah pembuktian yang tidak memiliki kebenaran,
karena tingkat subjektivitas pencerita dan penulis yang cukup besar
serta sarat dengan imajinasi sehingga mengaburkan suatu peristiwa dan
tidak memiliki kebenaran secara ilmiah.
Sebagai
landasan argumentasi pihak Jambi untuk menganeksasi Pulau Berhala
kebanyakan hasil rekayasa yang menyatakan bahwa di Pulau Berhala di
jumpai lokasi situs sejarah yang sangat penting bagi sejarah Islam di
Jambi yakni makam Datuk Paduko Berhalo, diperkirakan beliau hidup akhir
abad 11 sampai pertengahan abad 12 M yang dianggap sesaman dengan Tuan
Telanai (1080-1168M). Pada hal Makam Datuk Paduko Berhalo yang dianggap
sebagai situs sejarah sejak abad 12 di Pulau Berhala, merupakan
hikayat atau legenda yang juga mengalami kejanggalan dan bisa
menyesatkan, karena keberadaan makam (sebagai kuburan) Datuk Paduko
Berhalo di pulau tersebut, baru pada akhir 1978 di heboh-hebohkan oleh
Pemerintah dan Pemuka Masyarakat Jambi. Sedangkan makam itu sendiri di
adakan sekitar tahun 1970, yang di tunjuk oleh seorang yang memang
keturunan Datuk Paduko Berhalo (sebut: Raja Wahid Alm.) saat itu ia
dalam keadaan tidak normal atau kesurupan. Ia kemasukan Roh-Gaib yang
mengaku Datuk Paduko Berhalo dan mengatakan "makamnya ada di Pulau
Berhala" serta memberi arahan untuk diberikan tanda berupa batu nisan
dan meminta diikatkan kain putih pada batu nisan yang telah dipasang,
juga meminta dipasangkan kelambu putih. Setelah itu, Roh-Gaib tersebut
meminta pula ditahlilkan dan dirawat kuburannya oleh pihak keluarga.
Pertanyaannya
sekarang; apakah dapat di akui kebenaran hasil pengakuan dari orang
yang dalam keadaan tidak normal ( kesurupan )? Bahkan dari penjelasan
itu, tidak pernah dinyatakan bahwa Pulau Berhala di bawah kekuasaan
Datuk Paduko Berhalo.
Kemudian alasan
argumentasi hukum bagi pihak Jambi adanya dalam buku J.Tideman tahun
1938, menjelaskan Pulau Berhala dan secara detail terekam di halaman 4
tertulis bahwa "Onderafdeeling Djambi terletak antara 0"47'-1"55' LS
dan 102"40'-104"33' BT". Dan pihak Jambi menterjemahkan juga bahwa
"Onderafdeeling ini terletak antara Berbak dan Pulau Berhala di
dalamnya". Terjemahan ini pun terkesan ada rekaan/manipulasi kata-kata
dalam kalimat yang dapat mengaburkan makna harfiahnya. Sedangkan dalam
bahasa aslinya (Belanda), berbunyi; Onderafdeeling Djambi. Deze
onderafdeeling is gelegen tusschen ongeveer 0o47' en 1o55' Z.Br. en
102o40' en 104o33' O.L. van Greenwich. Mede tot de onderafdeeling
behooren de Berbak en de Berhala-eilanden (zie boven). De grenzen
worden gevormd: ten Noorden door de afdeeling Indragiri (zie boven),
ten Westen door de onderafdeelingen Moearatebo en Moearatembesi; ten
Zuiden door de afdeeling Palembangsche Benedenlanden, ten Oosten door
de zee ( Strat Berhala ).
(yang artinya
kurang lebih; Dibawah bagian Jambi. Pembagian ini terletak antara
0o47'-1o55' LS dan 102o40'-104o33' BT GMT, dibawah bagian antara Berbak
dan pulau-pulau Berhala (lihat diatas). Batas-batas itu terbentuk :
sebelah Utara Indragiri (lihat diatas), sebelah Barat termasuk
Muaratebo dan Muaratembesi, sebelah Selatan termasuk bagian Palembang.
Dibawah sebelah Timur oleh laut (Selat Berhala). Terjemahan sebenarnya
dari "ten Oosten door de zee ( Strat Berhala ) selaras sebagaimana
yang dimaksud Pasal 5 ayat (1) huruf (c) UU No.31 Tahun 2003 yang
berbunyi; "Kabupaten Lingga mempunyai batas wilayah sebelah selatan
berbatasan dengan Laut Bangka dan Selat Berhala".
Penanganan
kasus Pulau Berhala oleh pemerintah pusat perlu dicermati secara
saksama karena kehadiran Komisi II DPR RI (sebagai wakil rakyat
Indonesia) ke pulau Berhala tanggal 25 Juli 2006 ternyata tidak
menunjukkan netralitasnya dalam pemberitaan di media terkesan sudah
berat sebelah. Apa artinya kunjungan itu kalau Komisi II langsung
mengisyaratkan Pulau Berhala masuk dalam bagian Provinsi Jambi (Pos
Metro Jbi, 270706), ini tidak fair. Sementara keberpihakan kami dari
LSM-BI tidak serta merta langsung berpihak ke Provinsi Kepri, jauh hari
sebelumnya telah diadakan pengumpulan data pendukung dan observasi
lapangan. Dari hasil kajian-analisis yang telah dilakukan pada semua
dokumen yang ada, menunjukkan cukup alasan dari data faktual/arsip resmi
yang merupakan dasar ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang
melandasi Status Keberadaan Pulau Berhala sebagai milik pengelolaan
pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau. Hal inipun telah disampaikan ke
Komisi II DPR RI dan Depdagri dalam bentuk Ikhtisar Data dan Analisis
tentang Status Keberadaan Pulau Berhalka sesuai surat Pengurus Pusat
LSM-BI Nomor: LSM-BI/ A/ PP/ 35/VI/06, tertanggal 03 Juni 2006, paling
tidak minggu pertama bulan Juli 2006 sudah diterima dan terbaca.
Adapun
data faktual dari hasil survey lapangan ke Pulau Berhala yang dimiliki
Tim LSM-BI juga menunjukkan adanya kepentingan individu Oknum Gubernur
Jambi dengan pemilikan lahan/tanah tepatnya dibagian Timur Laut Pulau
Berhala yang disebut Tanjung Hantu seluas + 88.226 M2, begitu pula
Oknum Bupati Tanjabtim dengan pemilikan lahan di bagian Barat Daya
Pulau Berhala, tanah seluas + 22.001 M2. Temuan ini merupakan jawaban
sekaligus pembuktian dan pembenaran tentang tudingan ambisi pribadi
Oknum Gubernur Jambi Drs H. Zulkifli Nurdin untuk menguasai Pulau
Berhala, yang ditudingkan oleh masyarakat Jambi sendiri semenjak tahun
2002 lalu ( Vide:Jambi Ekspres, Kamis, 24 Januari 2002, hal.1 ). Hal ini
perlu dipertanyakan, dan diperjelas kepada masyarakat Jambi secara
transparan oleh kedua oknum tersebut. Jangan karena kepentingan individu
untuk memperkaya diri, tetapi selalu mengatas namakan desakan atau
kepentingan rakyat Jambi, ini namanya Pemimpin menghianati rakyatnya dan
Pelacur Kekuasaan yang harus dibasmi.
Pada
hal warga masyarakat yang ditempatkan di pulau itu yang berasal dari
Desa Sungai Itik Kecamatan Sadu, Kab.Tanjabtim atas rekayasa yang
dilakukan Pempriv. Jambi yang tidak jelas tanah garapannya, karena
memang Pulau Berhala yang luas daratannya hanya kurang lebih dari 55
Hektar sudah lebih duluan dimiliki oleh warga masyarakat Riau-Linga dan
Kurang lebih 18 Hektar memang juga dimiliki oleh keluarga besar Raja
Rusly Ali (Keturunan Datuk Paduko Berhalo) akan tetapi Gran
Tanah/kebunnya diperoleh dari De Controleur Afdeeling Lingga hampir
seabad silam ( di Daik, 12 Oktober 1914 ). Adapun pembangunan yang
dilakukan oleh pihak Jambi berupa dermaga dan rumah-rumah
persinggahan/peristirahatan diutamakan khusus untuk pejabat Gubernur dan
para pejabat-pejabat lainnya (Kepala Dinas). Dalam keadaan Pulau
Berhala status Quo malah pembangunan pihak Jambi berjalan terus di pulau
tersebut sampai sekarang ini termasuk semenisasi jalan kearah lahan/
tanah milik kedua oknum tersebut dilakukan secara diam-diam sejak
beberapa tahun terakhir ini.
Sebagai
putra Nipah Panjang, pemilikan lahan/tanah tersebut diatas perlu kami
pertanyakan, apakah menggunakan uang rakyat atau uang pribadi untuk
membeli lahan/tanah dan melakukan pembangunan di Pulau Berhala. Kalau
uang rakyat/APBD, apa dasarnya dan mengapa pembangunan diarahkan/
diintensifkan ke Pulau Berhala yang tidak jelas dasar hukumnya bagi
Provinsi Jambi sementatra pembangunan Infrastruktur dan perbaikan jalan
raya yang sudah puluhan tahun rusak parah dan fasum lainnya di Ibu Kota
Kecamatan Nipah Panjang diabaikan? Kalaupun uang pribadi, mengapa
harus menjual nama rakyat, ini cara-cara premanisisai yang menghalalkan
semua cara.
Masalah Pulau Berhala juga
merupakan kompleksitas wilayah perbatasan laut antara Kabupaten
Tanjung Jabung Timur (Jambi) dengan Kabupaten Lingga (Prov.Kepri).
Namun, penanganan batas pemisah di laut tidak bisa disamakan dengan
penentuan suatu batas pemisah di darat, Selain wilayah laut tidak bisa
dikapling-kapling layaknya memberikan tanda patok sebagai batas pemisah
(di daratan), juga ada ketentuan Internasional yang menyangkut
kemaritiman harus dipatuhi. Sehingga batas pemisah di wilayah laut
dapat ditentukan dengan titik kordinat yang jelas sebagai Markah Laut
(Imagination Line). Selat Berhala yang sudah menjadi bagian dan
kebutuhan dunia pelayaran Nasional dan Internasional yang berjalan
sejak berabad-abad lamanya, harus mengikuti ketentuan-ketentuan hukum
serta kebiasaan Internasional bahwa hilangnya atau munculnya suatu
bagian terdalam perairan yang dipakai untuk pelayaran, dll. dan
disebabkan oleh faktor alamiah, maka berlaku "Prinsip Prescription dalam
hukum". dengan demikian patut dipertimbangkan sebagai solusi
penyelesaian masalah Pulau Berhala yang merupakan kompleksitas wilayah
perbatasan laut.
Dan mengingat UU No. 31
Tahun 2003, Pasal 5 ayat (1) huruf (c) menjelaskan bahwa "Kabupaten
Lingga mempunyai batas wilayah sebelah selatan berbatasan dengan Laut
Bangka dan Selat Berhala". Maka, solusi terbaik adalah menjadikan
"Selat Berhala" dan ditetapkan sebagai markah laut "Imagination Line"
atau wilayah perbatasan laut dengan titik kordinat yang jelas dan
disahkan secara definitif melalui suatu ketentuan baru sebagai milik
pengawasan bersama bagi Provinsi Kepulauan Riau (Kabupaten Lingga)
dengan Provinsi Jambi (Kabupaten Tanjabtim).
Disahkannya
Undang-undang No. 31 Tahun 2003 dan diundangkannya sejak tanggal 18
Desember 2003, sehingga setiap orang dapat diduga mengetahui dan
dimengerti olehnya berlakunya azas "Lex specalis derogat generalis"
sebagaimana diatur dalam Bab VII pada pasal 19 yang berbunyi: "Pada saat
berlakunya Undang-undang ini, semua peraturan perundang-undangan yang
tidak sesuai dengan Undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku".
Terkait
dengan autentikasi data tersebut diatas, pihak LSM-BI meminta kepada
pemerintah pusat (Depdagri dan Komisi II DPR RI) dalam rangka memberikan
keputusan akhir sebagai legimitasi kepastian Status Hukum Pulau
Berhala, agar penanganannya dilakukan secara professional dan
proporsional berdasarkan fakta sejarah yang benar dari berbagai aspek
sesuai ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang melandasi
keberadaan pulau tersebut. Oleh karena itu untuk mencapai penyelesaian
yang adil dan tegas, pihak LSM-BI menilai rasanya tidak ada penyelesaian
secara adil dan tegas tanpa menghadirkan kedua belah pihak provinsi
terkait dan pihak-pihak yang memiliki data autentik guna memberikan
kesaksian atas kebenaran landasan argumentasi dari fakta sejarah selama
ini.